Pendahuluan
Jumlah
orang yang mengaggur adalah jumlah orang dalam suatu negara yang tidak memiliki
pekerjaan dan tersedia untuk bekerja pada tingkat upah pasar saat ini. Hal ini
dengan mudah dapat dijadikan presentase dengan mengaitkan antara jumlah pengangguran
dengan jumlah orang dalam angkata kerja.
Inflasi adalah kenaikan harga secara
umum. Ini diukur dengan mengambil rata – rata tertimbang semua produk konsumen
(fekuensi pembelian) dan menganalisis tren keseluruhan harga. Hal ini sering
disebut CPI atau Indeks Hagra Konsumen. Hal ini menunjukan presentase berapa
banyak kenaikan harga umum dari semua barang – barang konsumsi telah berubah
sepanjang tahun. Kedua telaah tersebut telah dianalisis bersama –sama dengan
kurva Phillips yang menunjukan tingkat inflasi yang di plot dengan tingkat
pengangguran.
Pada
tahun 1958, A. W. Phillips mengamati hubungan negatif antara inflasi dan
pengangguran dengan teori nya yang hingga saat ini terkenal dengan Teori Kurva
Philips. Kurva Phillips yang digunakan para ekonom saat ini berbeda dengan dari
hubungan yang dipelajari Phillips. Salah satu nya adalah mensubtitusi inflasi
harga untuk inflasi upah, dan kemudian disebut dengan Kurva Phillips Modern.
Penerapan
kurva phillips di Indonesia diharapkan dapat memberi kejelasan mengenai
hubungan inflasi dan pengangguran. Namun, penerapan inflation targetting untuk mencapai inflasi yang rendah dalam
jangaka panjang dihadapkan pada kebijakan RAPBN yang tujuanya untuk mengurangi
pengangguran.
Ada
suatu hubungan terbalik atau negatif dari inflasi dan tingkat pengangguran
dalam suatu perekonomian. Semakin banyak pengusaha memperluas kesempatan kerja,
maka dia harus membayar dengan faktor tertentu produksi, dan pembayaranya lebih
banyak dari peningkatan biaya produksi per unit, hal tersebut akan diamati
dalam rangka mempertahankan profitabilitas produk pengusaha yang akan
mengembangkan harga produk tersebut. Sebuah proses serupa akan dihadapi oleh
suatu perekonomian ketika pemerintah bermaksud untuk menciptakan lapangan
pekerjaan. Harga produk atau jasa dimana tenaga kerja terinstal meningkat, maka
kenaikan tingkat inflasi akan terlihat melalui ekonomi luar. Dapat disimpulkan
bahwa ketika pemerintah berniat untuk menurunkan tingkat pengangguran, maka
yang harus ditanggung oleh pemerintah adalah kenaikan tingkat inflasi dalam
skala nasional.
Sisi lain dari dampak inflasi adalah meningkatnya jumlah
pengangguran. Industri banyak yang mengurangi produksinya, merumahkan
karyawannya untuk sementara dan ada pula yang memberhentikan karyawannya untuk
sementara dan ada pula yang memberhentikan karyawan dengan alasan untuk
melakukan efisiensi. Di banyak
Negara sedang berkembang dan Negara-negara miskin, dampak inflasi terhadap
lapangan kerja lebih tragis lagi dan angka pengangguran sulit dikendalikan.
Kondisi tersebut menjadi lebih parah lagi karena rendahnya kualitas Sumber Daya
Manusia ( SDM ) terutama jika dibandingkan dengan Tenaga Kerja Asing ( TKA
).Kehadiran TKA seringkali memicu kecemburuan di kalangan tenaga kerja dalam
negeri, antara lain karena gaji yang mereka terima jauh lebih besar daripada
tenaga kerja dalam negeri, di samping itu mereka lebih banyak mendapatkan
fasilitas atau kesejahteraan lainnya. TKA yang bekerja di Indonesia umumnya
merupakan satu paket dengan kehadiran Penanaman Modal Asing ( PMA ) dengan alas
an untuk memasang mesin-mesin dengan teknologi canggihan serta untuk
mengoperasikannya. Jika tidak diizinkan membawa sebagian tenaga keja dari
Negara asalnya, mereka akan membatalkan diri untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Inflasi yang tinggi akan mendorong produsen melakukan
efisiensi terhadap industrinya , seperti merasionalisasikan tenaga kerja dan
restrukturisasi atau melakukan perampingan organisasi perusahaannya yang
berakibatkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran. Penawaran tenaga kerja
kian bertambah sedangkan permintaan terhadap tenaga kerja kian berkurang.
Tenaga kerja yang menganggur atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK )
terpaksa harus mau menerima upah atau gaji yang rendah yang tidak jarang pula
lebih rendah nilainya daripada harga barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari
mereka.Hubungan antara inflasi dan pengangguran mulai menarik perhatian para
ekonom pada akhir tahun 1950-an. A.W.Phillips di dalam tulisannya dengan judul The Relation Between Unemployment and The
Rate of Change of Money Wage Rate in the United Kingdom yang dimuat pada
Jurnal Economica edisi bulan November 1958 halaman 285-300 isinya anatara lain
memperkenalkan hubungan yang sistematik antara inflasi dan pengangguran yang terjadi
di Inggris. Studi yang dilakukan A.W. Phillips mengenai hubungan antara
kenaikan tingkat upah dan tingkat pengangguran pada para pekerja di Inggris.
Pembangunan ekonomi menjadi sangat penting bagi Negara –
Negara di seluruh dunia, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Terlebih lagi bagi Negara –Negara yang sedang berkembang, yang awalnya adalah
memang Negara bekas jajahan. Namun dalam mewujudkan pembangunan ekonomi itulah,
banyak masalah yang terus dihadapi oleh berbagai negara. Masalh - masalah yang harus dihadapi tersebut adalah
ketidak stabilan ekonomi. Ketidak stabilan ekonomi bisa diketahui dengan muncul
nya penyakit ekonomi makro. Paling tidak ada tiga penyakit dalam proses
pembangunan ekonomi makro, yaitu : masalah inflasi, Pengangguran dan
ketimpangan neraca pembayaran (Boediono, 1999).
Masalah pengangguran merupakan momok yang menakutkan apalagi
di Negara yang sedang berkembang. Masalah pengangguran juga dihadapi oleh
Negara – Negara maju, namun masalah pengangguran di Negara maju lebih mudah
diselesaikan, karena hanya berkaitan dengan Bussiness
Cycle, berbeda dengan di Negara berkembang, dengan berbagai masalahnya yakni : Sempitnya lapangan
pekerjaan, Ledakan penduduk, Kelangkaan Investasi ataupun masalah sosial
politik. Masalah utama dan nyata yang harus dihadapi oleh pemerintah, tetapi
perhatian pemerintah tidak harus fokus terhadap pengangguran saja.
Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi tidak hanya terkait oleh
masalah pengangguran saja, akan tetapi masalah inflasi juga merupakan masalah
yang sangat penting yang arus dihadapi oleh semua negara di dunia. Bahkan,
peran Bank Sentral di berbagai negara sudah identik dengan peran yang
mengadopsi target inflasi, baik secara eksplisit maupun implisit.
Inflasi sering digunakan sebagai target kebijakan pemerintah,
karena inflasi juga merupakan masalah yang sangat penting yang tidak bisa
diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Inflasi pada
mulanya di identikan dengan pencetakan uang yang tertalu banyak, yang
menyebabkan jumlah uang yang beredar terlalu banyak. Hal tersebut dalpat
menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Oleh karena itu inflasi didefinisikan
sebagai kenaikan tingkat harga secara umum. Definisi itu sebagai kebalikan dari
kenaikan harga hanya pada satu atau dua komoditi saja (Humphreys, 1997).
Inflasi yang tinggi perlu untuk diperhatikan, mengingat
dampaknya yang luas bagi perekonomian dan bisa menimbulkan ketidakstabilan,
pertumbuhan ekonomi yang lamban dan pengangguran yang kian meningkat. Melihat
adanya hal tersebut, mengendalikan inflasi agar stabil begitu penting untuk
dilakukan. Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka
tak akan ada pengobatan yang efektif kecuali diarahkan pada masalah utama.
Jika
ingin menekan tingkat pengangguran, akan mendorong terjadinya inflasi yang tinggi dan seterusnya. Pemerintah harus
memahami betul beberapa sasaran inflasi dan bagaimana untuk mencapainya. Hal
ini bukan merupakan masalah yang mudah, bukan dikarenakan orang – orang tidak
suka dengan kenaikan harga, akan tetapi juga karena sasaran inflasi merupakan
kunci penentu utama seberapa giat ekonomi menciptakan lapangan pekerjaan.
Kajian Teori
Dalam
hukum okun’s law dinyatakan bahwa jumlah pengangguran dalam sebuah Negara akan
berbanding terbalik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Namun
dari teori ini cenderung mengabaikan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di
sebuah Negara.
Begitu
juga keterkaitanya dengan Inflasi, Mankiw menjelaskan bahwa tingkat Inflasi dan
Pengangguran adalh sesuatu hal yang memiliki hubungan yang negatif. Dan hal ini
menjadikan trade-off pemerintah untuk
memperbaiki keadaan perekonomian dalam skala makro.
Inflasi
Inflasi
adalah kenaikan harga secara umum dan terus menerus. Terdapat tiga penggolongan
inflasi (Reksoprayitno, 2000)
-
Inflasi permintaan (demand-pull inflation)
-
Inflasi penawaran (cost-push inflation)
-
Inflasi campuran (mixed inflation)
Inflasi Permintaan
Inflasi
ini terjadi karena dominanya tekanan permintaan agregat. Tekanan ini di tanadai
semakin bergesernya kurva AD ke kanan. Tekanan permintaan ini menyebabkan
output perekonomian bertambah namun disertai inflasi (Rahardja, 2008). Inflasi
permintaan uang terjadi akibat dari adanya kenaikan permintaan agregat. Teori
atau model yang dapat di gunakan dalam analisis ini adalah:
-
Teori Kuantitas Uang
-
Celah Inflasi
-
Pendekatan IS-LM
-
Permintaan – Penawaran Agregatif
Dalam
teori Inflasi Permintaan Uang, yang paling tua adalah teori kuantitas uang.
Teori ini berpendapat bahwa naik – tururnya tingkat harga tergantung dari naik
– turunya jumlah uang yeng beredar dalam perekonomian. Menurut teori ini untuk
mengurangi jumlah uang beredar tersebut, rumah tangga akan menaikkan jumlah
konsumsi mereka, sehingga permintaan agregat ikut meningkat. Bedasarkan asumsi full-employment, kenaikan permintaan
agregat otomatis mengakibatkan kenaikan tingkat harga, oleh karena itu
terjadilah inflasi. Proses inflasi ini akan terus terjadi sampai tercapai
sebuah keadaan dimana angka perbandingan antara saldo kas nyata dengan
pendapatan nyata kembali ke keadaan awal.
Celah
inflasi atau inflationary gap, adalah
keadaan dimana besarnya inflasi melebihi besarnya tingkat tabungan (saving) dalam keadaan full-employment. Namun pernyataan ini
sangat tepat bila digunakan dalam sistem perekonomian tertutup dengan keadaan
tanpa kebijakan fiskal. Dalam analisis teori ini terdapat juga deflationary income gap atau besarnya
kapasitas produk nasional yang tidak terpakai.
Apabila
kita dapat menerima analisis silang Keynes dalam model IS-LM maka dapat dikatakan
bahwasemua faktor penyebab bergesernya kurva IS menjauhi titik silang sumbu 0,
dan semua faktor yang menyebabkan kurva LM bergeser kekakan, maka merupakan
sebab timbulnya inflasi permintaan.
Sama
halnya dengan analisis penawaran – permintaan agregat, dalam analisis ini
variable tingkat harga berlaku secara eksplisit. Dengan keadaan yang demikian
diharapkan analisis ini menjadi lebih baik. Dan dalam analisis ini pula
dikatakan bahwa semua gejala yang mengakibatkan kurva LM bergeser atau kurva IS
menjauhi tingkat bunga adalah merupakan faktor penyebab timbulnya inflasi
permintaan (Reksoprayitno, 2000)
Inflasi Penawaran
Inflasi
ini terjadi karena kenaikan biaya produksi, sehingga menyebabkan penawaran
agregat berkurang. Kenaikan biaya produksi ini disebabkan oleh kenaikan harga
input pokok (Rahardja, 2008). Terdapat beberapa cara untuk menerangkan inflasi
ini, namun cara yang paling umum adalah :
-
Analisis IS-LM
-
Analisis Permintaan – Penawaran Agregat
Dalam
analisis IS-LM, inflasi terjadi karna pergeseran kurva LM yang disebabkan oleh
perusahaan monopoli yang menggunakan kekuatannya untuk menaikan harga atau oleh
para buruh yang menggunakan kekuatan monopsonistiknya dalam menuntut kenaikan
gaji. Dalam analisis ini, jika pemerintah tak melakukan kebijakan fiskal maupun
moneter maka inflasi akan berhenti dengan sendirinya, yang berarti kurva LM
akan bergeser kearah dimana ia menemukan suatu ekuilibrium baru. Namun dalam
ekuilibrium ini output nasional lebih sedikit dari pada sebelumnya.
Dalam
hal permintaan – penawaran agregat, faktor harga masih mendapat perhatian yang
eksplisit. Sebagai akibat dari dimanfaatkanya kedudukan monopoli produsen untuk
mencapai keuntungan yang maksimum atau kedudukan monopsoni konsumen untuk memaksimumkan
kepuasan mereka dengan upah yang tinggi, maka kurva penawaran agregat akan
bergeser ke kiri mendekati tingkat harga. Namun yang paling penting disini
adalah, apabila sumber inflasi terhenti maka gejala dari inflasi tersebut juga
akan terhenti. Dan apabila dalam keadaan ekuilibrium yang baru maka harga
menjadi sangat mahal dan ekuilibrium output nasional lebih kecil (Rahardja,
2008).
Inflasi Campuran
Inflasi campuran adalah inflasi yang
penyebabnya dalah campuran antara demand
pull inflation dan cost push
inflation. Sekalipun inflasi ini terjadi, yang paling murni terjadi untuk
menimbulkan inflasi adalah tarikan permintaan atau dorongan biaya (Rahardja,
2008).
Pengangguran
Angkatan
kerja adalah suatu ukuran yang dilakukan dalam kegiatan produktif seseorang
untuk menghasilkan barang dan jasa. Angkatan kerja ini terdiri dari golongan
yang bekerja dan golongan yang menganggur. Golongan yang bekerja (employed persons) adalah sebagian
masyarakat yang sudah aktif dalam kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa.
Sedangkan untuk sebagian masyarakat lainnya, yang sudah tergolong siap bekerja
namun masih mencari pekerjaan dapat dikategorikan dalam golongan menganggur. Pengangguran
adalah sebagian dari tenaga kerja yang tidak bekerja maupun sedang mencari
pekerjaan, atau sebagian dari tenaga kerja yang tidak terlibat atau tidak
berusaha terlibat dalam kegiatan produksi.
Kelompok
pengangguran atau bukan angkatan kerja ini terdiri dari golongan yang
bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain yang
menerima pendapatan. Seorang pekerja yang tidak dibayar adalah seseorang yang
bekerja untuk membantu usaha dalam memperoleh penghasilan/keuntungan yang
dilakukan oleh seorang rumah tangga atau bukan anggota rumah tangga tanpa
mendapat upah/gaji (Kaufman dan Hotchkiss,1999).
Pengangguran
merupakan suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja
ingin mendapatkan pekerjaan tetapi mereka belum memperoleh pekerjaan tersebut.
Namun seseorang yang tidak bekerja namun tak aktif dalam mencari pekerjaan
tidak termasuk dalam pengangguran. Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh
ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta
(Sukirno, 1994).
Menurut
Putong (2002), pengangguran terbagi menjadi tiga jenis antara lain :
-
Pengangguran siklis
-
Pengangguran Friksional
-
Pengangguran Struktural.
Terjadinya
pengangguran siklis
adalah apabila permintaan
lebih rendah daripada
output perekonomian ketika kemampuan ekonomi suatu bangsa lebih dari kemampuan
yang dapat seharusnya dicapai. Atau
dapat pula dikatakan apabila GNP actual lebih rendah dari GNP potensial. GNP
potensial sendiri adalah GNP yang dapat dihasilkan dalam kondisi full
employment. Dikatakan pula bahwa pengangguran siklis merupakan jenis
pengangguran terpaksa, disebabkan karena banyaknya tenaga kerja yang
ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku namun kurangnya lapangan pekerjaan atau bahkan tidak ada
lapangan pekerjaan yang tersisa. Pengangguran ini
dapat diukur dari jumlah orang yang bekerja dikurangi jumlah orang yang
seharusnya mempunyai pekerjaan pada tingkat pendapatan nasional.
Sedangkan untuk pengangguran
friksional, terjadinya karena adanya perputaran atau siklus dalam lingkup pekerjaan dan
ketenagakerjaan. Dapat pula
terjadi karena adanya angkatan kerja baru yang
siap memasuki lapangan kerja dan adapula yang keluar dari pekerjaan. Dapat
juga
dikatakan bahwa pengangguran friksional merupakan orang yang
menganggur sambil mencari pekerjaan. Karena itu pengangguran friksional dapat juga
disebut sebagai pengangguran sukarela.
Untuk pengangguran
structural, adalah
pengangguran yang terjadi karena adanya
ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja. Struktur ini bisa bedasarkan pendidikan
dan keterampilan, jenis kelamin, pekerjaan, industry, geografi, informasi, dan strukstur
permintaan tenaga kerja. Sifat pengangguran ini biasanya alamiah, misalnya karena adanya trend kebutuhan
kerja dengan spesifikasi dan keahlian tertentu atau bisa pula karena kebijakan
pemerintah. Selain itu pengangguran
ini muncul ketika tidak memiliki segala keahlian, pelatihan, pengalaman, dan preferensi geografis
yang sesuai dengan segala pekerjaan yang ditawarkan dalam suatu perekonomian.
Sedangkan
menurut Putong (2000) berdasarkan praktiknya pengangguran dapat digolongkan
menjadi penganggur penuh dan setengah menganggur. Pengangguran penuh adalah
pengangguran yang benar - benar tidak
dan belum memiliki pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan. Sedangkan
setengah menganggur ialah orang bekerja namun tenaganya tidak proposional
dengan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan, atu jam kerjanya tidak sampai jam
kerja produktif, yang kadang pula
disebut pula pengangguran tak kentara. Disebut pula bahwa setengah menganggur
ini orang yang bekerja namu tidak sesuai dengan pendidikan dan keahlian juga
disebut sebagai penganggur atau disebut juga pengangguran yang tidak
menganggur.
Dalam
pengangguran structural terdapata penggolongan pengangguran sukarela. Hal ini
karena tidak bersedianya ditempatkan, ataupun alasan laiinya ialah menolak
pekerjaan karena alasan pendidikan yang tinggi atau mau bekerja meskipun tidak
sesuai dengan pendidikan dan keterampilannya.
Kurva Phillips
Dalam istilah yang sederhana, Kurva
Phillips adalah sebuah grafik yang menunjukan hubungan antara angka inflasi dan
angka pengangguran. Pada umumnya teori Kurva Phillips agak berbeda dengan kurva
AS, namun kebanyakan ekonom berpendapat bahwa pandangan yang didapatkan dari
analisis AS/AD yang menyangkut tingkat harga juga berperilaku untuk tingkat
inflasi.
Dalam kurva dijelaskan bahwa
terdapat hubungan yang sangat halus antara tingkat pengangguran dan tingkat
inflasi. Kurva ini menunjukan hubungan antara inflasi dan pengangguran. Pada
tingkat inflasi yang rendah kita harus menerima tingginya tingkat pengangguran,
dan pada angka pengangguran yang rendah kita harus menerima tingginya tingkat
inflasi (Case and Fair, 2004)
Kurva tersebut menunjukan kombinasi
nilai presentase perubahan upah nominal dengan presentase pengangguran yang
terjadi. Dalam kurva Phillips lama terdapat titik – titik dalam kurva membentuk
diagram pencar atau scatter diagram dan
dapat diketahui garis regresinya. Garis regresi tersebut adalah garis yang
mewakili titik – titik. Garis tersebut dihasilkan dari presentase perubahan
upah nominal dengan presentase pengangguran, dan inilah yang disebut Kuva Phillips .
Kurva
Phillips yang sudah direvisi memiliki hubungan dengan kurva phillips yang lama.
Didalam gambar dapat dilihat bahwa kurva Phillips menunjukan trade-off antara tingkat pengangguran
dan tingkat inflasi. Seluruh Negara di dunia mengingingkan tingkat
penagangguran yang rendah dibarengi oleh tingkat inflasi yang rendah, namu
kenyataanya jika terjadi tingkat penganguuran yang rendah maka akan terjadi
tingkat inflasi yang tinggi, sebaliknya jika dihadapkan pada tingkat inflasi
yang rendah maka tingkat pengangguran yang akan meningkat (Soediyono, 2000)
Analisis AS/AD dan Kurva Phillips
Jika
kurva AD bergeser setiap tahun namun kurva AS tidak mengalami pergeseran maka
nilai P dan Y tiap tahun berada pada kurva AS. Bagan hubungan antara P dan Y
bergeser ke atas, disisi lain bagan hubungan antara tingkat inflasi san
pengangguran akan bergeser kebawah. Dengan kata lain kita akan melihat hubungan
Negatif antara Tingkat Inflasi dan Pengangguran.
Jika Hanya terjadi pergeseran Kurva
AS tanpa pergeseran kurva AD maka terjadi hubungan negatif antara P dan Y.
Namun jikan AD dan AS keduanya bergeser maka tak ada hubungan yang sistematis
antara P dan Y.
Jika tingkat Inflasi bergantung pada
harapan, maka kurva Phillips akan bergeser mengikuti perubahan harapan. Jika
ada kenaikan harapan akan inflasi maka akibatnya adalah kenaikan tingkat
inflasi, walaupun tingkat pengangguran tidak berubah. Jika tak ada perubahan
pada inflasi maka kurva phillips tak akan bergeser. Jika ada harapan kenaikan
inflasi maka kurva Phillips akan bergeser ke kanan, dan jika sebaliknya maka
kurva phillips akan bergeser ke kiri. Maka akan terjadi sedikit kenaikan
tingkat inflasi pada tingkat pengangguran tertentu (Case and Fair, 2004)
Keynesian : Short Run Phillips Curve
Hasil temuan Profesor Phillips di
adopsi oleh Keynesian untuk menjelaskan adanya trade-off antara inflasi dan pengangguran. Seperti kurva Phillips
sebelumnya, jika ingin mengurangi tingkat pengangguran maka harga yang harus
dibayar adalah tingginya tingkat inflasi. Dalam metode Keynesian, trade-off antara inflasi dan
pengangguran dapat dianalisis menggunakan kurva AD-AS.
Asumsi AD-AS adalah jangka pendek.
Faktor produksi umum bersifat tetap (fixed
input). Karena itu pertumbuhan penawaran agregat (AS) tidak bisa secepat
pertumbuhan permintaan agregat (AD). Dalam hal ini tenaga kerja merupakan input
tetap.
Jika
penawaran agregat (AS) tidak bisa tumbuh lebih cepat dari permintaan agregat
(AD) maka pertumbuhan ekonomi jangka pendek diikuti oleh inflasi. Dan jika ada
anggapan bahwa terdapat hubungan yang tetap antara kesempatan kerja (N) dengan
tingkat output(Y), maka bertambahnya output akan menambah kesempatan kerja (N2
> N1 > N0). Karena jumlah tenaga kerja dianggap tetap, maka penambahan
tenaga kerja akan mengurangi pegangguran (U), maka U2 < U1 < U0. Dalam
analisis ini yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara P dan U, jika P
naik maka U akan turun (Rahardja, 2008).
Klasik : Long Run Phillips Curve
Menurut teori klasik, tidak ada trade-off antara inflasi dan pengangguran, hal ini
dikarenakan hasil analisis jangka pendek berbeda dengan analisis jangka
panjang. Karna menurut kaum Klasik, kelemahan dari analisis Keynesian adalah
dalam dimensi waktu yang berjangka pendek.
Menurut
kaum Klasik, dalam jangka panjang perekonomian berada dalam kondisi full employment. Dan bentuk kurva AS
menjadi tegak lurus, sehingga peningkatan permintaan agregat hanya akan menyebabkan
inflasi (P2 > P1 > P0 ), sementara outpu tidak bertambah atau tetap.
Karena itu, maka kurva Phillips jangka panjang berbentuk tegak lurus, sejajar
dengan kurva AS. Oleh karena itu kaum Klasik mengatakan bahwa tidak ada trade-off antara inflasi dan pengangguran
dalam jangka panjang (Rahardja, 2008).
Pembahasan
Masalah pengangguran merupakan momok yang menakutkan apalagi
di Negara yang sedang berkembang. Masalah pengangguran juga dihadapi oleh
Negara – Negara maju, namun masalah pengangguran di Negara maju lebih mudah
diselesaikan, karena hanya berkaitan dengan Bussiness
Cycle, berbeda dengan di Negara berkembang, dengan berbagai masalahnya yakni : Sempitnya lapangan
pekerjaan, Ledakan penduduk, Kelangkaan Investasi ataupun masalah sosial
politik. Masalah utama dan nyata yang harus dihadapi oleh pemerintah, tetapi
perhatian pemerintah tidak harus fokus terhadap pengangguran saja.
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan
oleh berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain, konsumsi masyarakat yang
meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan
spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi
barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang atau
redenominasi secara kontinu. Inflasi
adalah proses dari suatu peristiwa, namun bukan tinggi-rendahnya tingkat harga.
Dengan kata lain tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan
inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap
terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling
memengaruhi antar sektor. Istilah inflasi juga
digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang dan
jumlah uang yang beredar yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya
harga.
Inflasi sering digunakan sebagai target kebijakan pemerintah,
karena inflasi juga merupakan masalah yang sangat penting yang tidak bisa
diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Inflasi pada
mulanya di identikan dengan pencetakan uang yang tertalu banyak, yang
menyebabkan jumlah uang yang beredar terlalu banyak. Hal tersebut dalpat
menyebabkan terjadinya kenaikan harga.
Menurut J.M Keyness, hubungan antara variavel moneter dengan
variabel ekonomi riil sangat kuat. Model klasik menyatakan bahwa harga termasuk
upah ditentukan oleh mekanisme pasar dan penyesuaian upah nomial tidak ada pada
periode tertentu. Model Keynessian menyatakan bahwa ada kemungkinan kuantitas
penawaran dan permintaan tenaga kerja tidak sama dan kemungkinan yang sering
terjadi adalah kelebihan penawaran tenaga kerja. Hubungan antara tingkat harga
dengan tingkat pengangguran tenaga kerja dijelaskan oleh Kurva Phillips yang
menyatakan bahwa tingkat upah nominal pada periode tertentu dapat dijelaskan
oleh tingkat pengangguran sekarang.
Dari definisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar
dapat dikatakan telah terjadi inflasi (Rahardja, 2008):
a. Kenaikan harga
b. Bersifat umum
c. Berlangsung terus
menerus
Sedangkan pengertian dari pengangguran yang digunakan oleh
Badan Pusat Statistik, antara lain pengangguran terbuka (open unemployment) bedasarkan pada konsep seluruh angkatan yang
mencari pekerjaan, baik yang mencari pekerjaan pertama kali atau yang pernah
bekerja sebelumnya. Sedangkan setengah penganggur adalah pekerja yang masih
mencari pekerjaan penuh atau sambilan dan mereka yang bekerja dengan jam kerja
rendah atau kurang dari 35 jam kerja dalam satu minggu, dan setengah penganggur
sukarela adalah setengah penganggur tapi tidak mencari pekerjaan atau tidak
bersedia menerima pekerjaan lain (pekerja paruh waktu). Setengah penganggur
terpaksa adalah setengah penganggur yang mencari dan bersedia menerima
pekerjaan. Pekerja digolongkan setengah penganggur parah bila ia termasuk
setengah menganggur dengan jam kerja kurang dari 25 jam dalam satu minggu
(Kuncoro, 2006).
Tingkat pengangguran dalam suatu Negara dapat dihitung dengan
cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang
dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus
mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat
kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat
menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya.
Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan
sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Dan akibat
jangka panjang dari pengangguran adalah menurunnya GNP dan pendapatan
per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah
"pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa
dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh banyak orang.
Pada tahun 1958, dimana para pemikir ekonomi sedang
ramai-ramainya bertukar pikiran mengenai teori inflasi, A.W. Phillips berhasil
menemukan hubungan yang erat antara tingkat pengangguran dengan tingkat
perubahan upah nominal. Penemunannya ini diperolehnya dari hasil pengolahan
data empirik perekonomian inggris untuk periode 1861-1957. Kurva phillips yang
menghubungkan persentase perubahan tingkat upah nominal dengan tingkat
pengangguran seperti diuraikan di atas biasa disebut dengan kurva phillips
dalam bentuk asli. Di samping itu, ada juga kurva phillips dalam bentuk versi
baru yang biasa disebut dengan kurva phillips yang sudah direvisi yang
digunakan untuk mengukur tingkat inflasi (Reksoprayitno, 2000).
Argumentasi untuk menjelaskan kurva phillips dirumuskan dengan formulasi sebagai
berikut (Yuliadi,2008):
Laju inflasi = Tingkat kenaikan upah – Tingkat kenaikan
produktivitas
Dari kurva phillips tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
semakin tinggi tingkat pengangguran semakin cepat kenaikan tingkat upah dan
harga; dan semakin tinggi harapan inflasi akan semakin cepat pula kenaikan
tingkat upah (Suparmoko, 2000).
Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi tidak hanya terkait oleh
masalah pengangguran saja, akan tetapi masalah inflasi juga merupakan masalah
yang sangat penting yang arus dihadapi oleh semua negara di dunia. Bahkan,
peran Bank Sentral di berbagai negara sudah identik dengan peran yang
mengadopsi target inflasi, baik secara eksplisit maupun implisit.
Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang
yang beredar baik uang tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor
moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut
mempengaruhi laju inflasi. Karena suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi
dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor
fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah
yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM
tersebut cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, mendorong kenaikan
harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya
menggunakan BBM.
Inflasi senantiasa merupakan ‘momok’ yang mencekam
perekonomian. Inflasi adalah kenaikan harga yang berlangsung secara terus
menerus. Kenaikan harga yang berlangsung sekali atau dua kali saja atau
kenaikan harga insidental, lalu reda
kembali bukan inflasi namanya. Kenaikan harga insidental seperti ini sering kita jumpai, misalnya menjelang
datangnya bulan Ramadhan atau Idul Fitri. Menjelang saat istimewa seperti itu,
permintaan orang akan barang dan jasa meningkat. Oleh karenanya supply tidak dapat menyusul demand sehingga menyebabkan kenaikan
harga. Nanti sesudah lebaran, permintaan masyarakat turun lagi ke tingkat
normal dan hargapun turun pula. Hal ini bukan disebut sebagai
inflasi (Rosyidi, 2005).
Inflasi terjadi ketika tingkat harga umum naik. Tingkat
inflasi adalah persentase perubahan pada indeks harga dari satu periode ke
periode berikutnya. Indeks harga pokok adalah indeks harga konsumen (CPI) dan
GDP Deflator. Seperti penyakit, inflasi bersal dari banyak sebab. Terkadang,
inflasi yang melambung menyebabkan harga naik sebesar 10 atau bahkan hingga 100
persen bahkan sampai 200 persen setiap tahunnya. Inflasi berlebihan ketika
mencetak uang untuk menekan mata uang dan harga mulai naik dalam setiap bulan.
Inflasi mempengaruhi perekonomian melalui redistribusi
pendapatan dan kekayaan dan melalui ketidakefisienan. Inflasi yang tidak terantisipasi
sering menguntungkan debitur, pencari
keuntungan dan siap menerima resiko. Hal tersebut tentu sangat merugikan kreditur, kelas berpendapatan tetap dan
menakuti para investor. Inflasi menimbulkan penyimpangan pada harga relatif,
tarif pajak, dan tingkat bunga nyata. Orang-orang lebih sering pergi ke bank,
pajak naik perlahan, dan ukuran pendapatan mungkin akan terganggu. Dan ketika
bank sentral mengambil langkah untuk menurunkan inflasi, biaya nyata untuk
menurunkan output dan ketenagakerjaan bisa menjadi begitu besar.
Inflasi juga menimbulkan sejumlah efek bencana lain, yaitu
mendistorsi dasar perekonomian diantaranya kalkulasi bisnis. Karena harga-harga
tidak berubah secara serentak, hal ini menyulitkan bisnis dalam membedakan mana
perubahan yang sementara dan mana perubahan yang langgeng, akan sulit bagi pebisnis
untuk mengukur permintaan konsumen ataupun biaya operasional mereka (Syahdan,
2007).
Setiap saat, perekonomian memiliki tingkat inflasi yang
diharapkan. Inilah tingkatan dimana orang-orang mulai mengantisipasi dan
mempertimbangkan inflasi dalam kontrak kerja dan perjanjian lainnya. Tingkat
inflasi harapan merupakan keseimbangan jangka pendek dan bertahan sampai
terjadi goncangan ekonomi.
Pada kenyataannya, perekonomian terus mengalami goncangan
harga. Goncangan terberat yang menjauhkan inflasi dari tingkat inertial adalah cost push inflation and demand pull
inflation. Demand pull inflation
berasal dari pengeluaran yang berlebihan untuk belanja barang, menyebabkan
kurva permintaan keseluruhan bergeser ke kanan atas. Upah dan harga kemudian
naik di pasaran. Cost push inflation
adalah fenomena baru pada perekonomian industri modern dan terjadi ketika biaya
produksi naik walau pada masa tingginya pengangguran dan kapasitas tidak
terpakai.
Kurva Phillips menunjukkan hubungan antara inflasi dengan
pengangguran. Dalam jangka pendek, penurunan satu tingkat berarti menaikkan
yang lainnya. Tetapi kurva jangka Phillips jangka pendek cenderung bergeser
terus selama inflasi yang diharapkan dan faktor lainnya berubah. Apabila
pembuat kebijakan bermaksud menjaga pengangguran di bawah NAIRU (Non – Accelerating Inflation Rate of
Unemployment), maka inflasi akan cenderung naik.
Teori inflasi modern berpijak pada konsep NAIRU, yaitu
tingkat pengangguran terendah yang dapat dinikmati tanpa resiko kenaikan
inflasi. Hal ini mewakili tingkat pengangguran dari sumber daya dimana pekerja
dan produk pasar berada dalam keseimbangan inflasi. Berdasarkan teori NAIRU,
tidak ada pertukaran permanen antara pengangguran dan inflasi, dan kurva
Phillips jangka panjang adalah vertikal (Samuelson dan Nordhaus, 2004 dan Rahardja,
2008).
Tingginya angka inflasi akan menurunkan daya beli masyarakat.
Untuk bisa bertahan pada tingkat daya beli seperti sebelumnya, para pekerja
harus mendapatkan gaji paling tidak sebesar tingkat inflasi. Kalau tidak,
rakyat tidak lagi mampu membeli barang-barang yang diproduksi. Jika
barang-barang yang diproduksi tidak ada yang membeli maka akan banyak
perusahaan yang berkurang keuntungannya. Jika keuntungan perusahaan berkurang
maka perusahaan akan berusaha untuk mereduksi cost sebagai konsekuensi atas berkurangnya keuntungan perusahaan.
Hal inilah yang akan mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja
nya dengan mem – PHK (Putus Hubungan Kerja) para buruh.
Salah satu dari jalan keluar dari krisis ini adalah
menstabilkan rupiah. Membaiknya nilai tukar rupiah tidak hanya tergantung
kepada money suplly dari IMF, tetapi
juga investor asing (global investment
society) mengalirkan modalnya masuk ke Indonesia (capital inflow). Karena hal inilah maka pengendalian laju inflasi
adalah penting dalam rangka mengendalikan angka pengangguran.
Keadaan di
Indonesia
Dalam teori
yang telah kita bahas, bahwa ketika pemerintah berniat untuk menurunkan
menurunkan tingkat pengangguran yang harus menanggung kenaikan tingkat inflasi. Berikut data inflasi dan pengangguran di
Indonesia
Tahun
|
Tingkat Pengangguran
|
Tingkat Inflasi
|
2002
|
9.06 %
|
10.00 %
|
2003
|
9.50 %
|
5.10 %
|
2004
|
9.86 %
|
6.40 %
|
2005
|
10.26 %
|
17.11 %
|
Setelah dalam sepuluh tahun
terakhir laju inflasi nasional mampu dipertahankan di bawah angka sepuluh
persen, namun pada tahun 2005 laju inflasi akhirnya menembus angka 17.11 persen
di barengi pada tahun 2002 mencapai 10.00 persen. Laju inflasi tahun 2005 itu jauh
lebih tinggi jika dibandingkan inflasi pada tahun 2004 yang hanya mencapai 6.40
persen. Hal ini disebabkan inflasi yang ditimbulkan dari pengurangan subsidi
BBM, sehingga menaikan harga – harga pada tahun 2005. Masyarakatpun memiliki
daya beli yang lema dan berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran di
Indonesia.
Daya
beli masyarakat yang menurun jelas menurunkan investasi. Jika investasi menurun
maka perusahaan akan memperoleh profit yang menururn, ditambah lagi tingginya
pajak yang di tetapkan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan investasi sulit
berkembang dan kesempatan kerja semakin sempit. Keadaan seperti ini otomatis
menambah tingkat pengangguran semakin tinggi.
Disinilah
kita mengerti pentingnya peran pemerintah dalam mengatasi pengangguran dan
inflasi. Kondisi yang terjadi adalah, inflasi memebaik tapi tidak dibarengi
dengan membaik atau berkurangnya tingkat pengangguran yang ada. Sehingga roda
perekonomian bisa dikataka macet.
Ini membuktikan tingginya laju
inflasi di negara kita lebih banyak
dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil
kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi
tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat
faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang
tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik
barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi
laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan
negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik
prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah
yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini
telah menggenjot tingkat inflasi tahun 2005 hingga mencapai 17.11 persen. Dan
efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainya.
Kesimpulan
Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum batang-barang
secara terus-menerus. Ini tidak bearti bahwa harga-harga berbagai macam barang
itu nik dengan persentase yang sama. Pengangguran adalah seseorang yang
tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat
memperolehnya. Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional
dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal yaitu masalah
pokok makro ekonomi yang paling utama.
Kerugian dari pengangguran merupakan beban kejiwaan, keuangan
dan sosial bagi para pengangguran. Disamping itu juga terdapat kerugian output
yang hanya diseimbangi oleh sedikitnya waktu luang yang dapt dinikmati oleh
pengangguran. Dipihak lain pengangguran bersifat tidak sukarela. Begitu juga
dengan inflasi. Inflasi yang tidak dapat diselesaikan secara sempurna
mengakibatkan pendistribusian kembali antar sektor. Inflasi yang tidak
diharapkan menguntungkan para debitur
moneter dan merugikan para kreditur
moneter.
Kurva Phillips menggambarkan trade-off antara tingkat inflasi dan pengangguran. Kurva ini menunjukan
kombinasi nilai presentase perubahan upah nominal dengan presentase
pengangguran yang terjadi. Seluruh Negara di dunia mengingingkan tingkat
penagangguran yang rendah dibarengi oleh tingkat inflasi yang rendah, namu
kenyataanya jika terjadi tingkat penganguuran yang rendah maka akan terjadi
tingkat inflasi yang tinggi, sebaliknya jika dihadapkan pada tingkat inflasi
yang rendah maka tingkat pengangguran yang akan meningkat.
Dapat disimpulkan dari penjelasan tersebut di atas bahwa
ketika pemerintah berniat untuk menurunkan menurunkan tingkat pengangguran yang
harus menanggung kenaikan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional.
Daftar Pustaka
-
Agus Sugiono. 2001. Ringkasan Pemikiran Keynesian
Baru. Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.
-
Biro Pusat Statistik. Keadaan
Angkatan Kerja Indonesia Berbagai Edisi. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
- Case, Karl E. and Fair, Ray C. Macroeconomic . PT. Index Gramedia. Jakarta : 2004.
- Dharendra
Wardhana. 2006. Pengangguran Struktural Di Indonesia: Keterangan Dari Analisis
SVAR Dalam Kerangka Hysteresis. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia vol.3 no.,
2006. Universitas Gadjah Mada.
- Dornburch, Rudiger and Fischer, Stanley . Makroekonomi .
Erlangga. Jakarta : 1997.
-
Endang Setyowati. 2007. Model Dinamis Pertumbuhan
Ekonomi, Inflasi dan Pengangguran di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia vol.5 no.3 November 2011.
-
Kuncoro, Mudrajad. Ekonomi Pembangunan. Unit
Penerbit dan Percetakan STIM YKPN. Yogyakarta : 2006.
-
Mankiw, N. Gregory. Pengantar Ekonomi Makro. Penerbit
Salemba Empat. Jakarta : 2006.
-
Manurung, Jonni dan Manurung, Adler Haymans. Ekonomi
Keuangan dan Kebijakan Moneter. Penerbit Salemba Empat. Jakarta :
2009.
-
Putong, Iskandar. 2002. Pengantar
Ekonomi Mikro & Makro : Edisi 2. Jakarta: Ghalia Indonesia
-
Rahardja, Prahatma dan Manurung, Mandala. Pengantar
Ilmu Ekonomi. Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia. Jakarta :
2008.
- Reksoprayitno, Soediyono. Ekonomi Makro. BPFE. Yogyakarta : 2000.
- Reni Wulandari. 2006. Pengaruh Tingkat Inflasi Terhadap
Tingkat Pengangguran di Indonesia. Skripsi Jurusan Ilmu Ekonomi Studi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiah Malang, 2006.
-
Rosyidi, Suherman. Pengantar Teori Ekonomi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta : 2005.
-
Sadono Sukirno. 1994. Pengantar
Teori Ekonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
-
Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D. Ilmu
Makroekonomi. PT. Media Global Edukasi. Jakarta : 2004.
-
Solikin. 2004. Kurva Phillips dan Perubahan Struktural
di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2004.
-
Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta : 2010.
-
Suparmoko. Pengantar Ekonomika Makro. BPFE. Yogyakarta :
2000.